Sunday 21 June 2015

Cerpen : Menit Akhir di Sekolah

Setelah ujian nasional berlalu tidak ada banyak hal yang bisa ku lakukan. Tidak ada semangat untuk melakukan segala halnya. Serasa selesai sudah semua perkara dan asa diri ini. Keseharianku setelah ujian nasional hanya menatapi layar laptop biru hitam yang ku miliki, update status di sosial media dan tak jarang mencari informasi perguruan tinggi. Bosan. Kebosanan itu tidak berhenti sampai disitu, biasanya kami bermain futsal di lapangan sekolah, tapi sudah dua minggu ini tidak lagi, gawang yang biasa kami pakai sudah tidak bisa digunakan untuk membuat hati ini senang.

Hal yang terpikirkan setelah ujian nasional adalah perpisahan. Aku pun sempat memikirkannya tetapi tidak terlalu menyedot perhatianku. Banyak orang yang mengartikan perpisahan, ada yang mengartikan perpisahan adalah tahapan yang harus dijalani agar kita bisa melewati satu tahap dalam kehidupan. Sudah sunnahnya di setiap pertemuan ada perpisahan, tak terbantahkan. Manusia lahir dan meninggal. Teman bertemu dan berpisah. Matahari terbit dan tenggelam. Semua berjalan dalam takdir masing – masing.

“Wahyu, kamu udah tau kapan jadwal perpisahannya?” tubuhnya yang besar seketika lewat di depan pintu kamar dan membuyarkan lamunanku, langsung kutanya. “22 April sih kalau enggak salah” jawabnya sambil lewat. Dua puluh dua April? Waktu yang tak akan terasa lama jika waktu itulah saat terakhir di sekolah ini. Dan aku pun kembali ke lamunanku.
***
Kalender kuning kecil di meja mengingatkanku bahwa besok adalah 22 April, ya tanggal untuk menyelenggarakan perpisahan. Lamunanku semakin lama semakin tak karuan, aku mulai memikirkan akankah aku berubah seketika keluar dari sekolah, apakah aku bisa menghadapi lingkungan di luar asrama, apakah aku bisa lulus di perguruan tinggi nanti. Ah sudahlah, kucoba mengintip keluar jendela, tidak terjadi apa – apa. Akhirnya aku mulai terhanyut di dalam lamunanku.

Esok hari, ya ini adalah tanggal 22 April, waktu yang telah ditentukan untuk melaksanakan perpisahan SMA. Semua orang di asrama telah menyibukkan diri masing – masing berdandan dengan baju yang gagah dan rapi. Semua orang terlihat senang. Menjadi sebuah kebahagiaan dan kebanggaan menggunakan pakaian wisuda dan toga hitam di kepala. Menunggu jambul merah toga untuk dipindahkan ke kiri, bermacam rasa yang aku rasakan saat itu. Kebersamaan dan kekeluargaan adalah suasana dominan yang sedang kami rasakan, tidak hanya kami yang diwisuda tetapi seluruh hadirin yang datang pada acara itu. Beberapa teman – teman kami menangis haru saat berpisah mengingat kami mempunyai jutaan kisah manis pahit masa – masa putih abu – abu. . Sore itu, perasaan haru biru dikuatkan dengan rintik hujan berjatuhan, memperkuat nikmatnya menganis pada saat itu.

Ku berencana untuk pulang hari itu, meninggalkan sekolah yang telah menghiasi jalan hidup ku ini. Barang – barang yang harus ku bawa pulang sudah ku siapkan sebelumnya, jadi tinggal mengangkut ke dalam mobil jemputan.

Berat, itulah perasaan yang sedang bergolak di dalam hati kecil. Sangat berat. Kegalauan memuncak ketika 4 roda mobilku mulai melaju meninggalkan sekolah. Ku tak bisa banyak berkata, beribicara tapi ku hanya melempar senyum kecil di balik jendela mobil sebagai kado perpisahan terakhir. Sebelum meninggalkan gerbang teringat olehku seluruh peristiwa selama 3 tahun lalu, bayangan kejadian itu sekelebat merasuki pikiranku, semuanya terlintas. Teringat olehku ketika kami terlambat untuk mengikuti apel pagi, ketika pagi – pagi buta kami mencari air untuk mandi, ketika kami bersorak bertepuk tangan mendengar prestasi teman – teman kami yang diumumkan saat upacara, ketika kami menatapi gunung Merapi saat berangkat ke sekolah, ketika kami berbuka puasa bersama berbagi gorengan. Sesaat melihat gerbang sekolah teringat ketika aku pertama kali datang. 

Categories: , ,

0 Komentar Absurd:

Post a Comment

Komentar